Pesan Sayyidina Umar bagi yang Banyak Bicara

Islam sangat memperhatiakan etika dalam melangsungkan kehidupan di dunia, termasuk etika berbicara. Salah satu etika dalam berbicara adala meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Berbicara hal yang tidak penting itu adalah menunjukkan kebodohan dirinya dan kematian hatinya. Karena lisan itu memiliki akal yang timbul dari hati nuraninya, sehingga jika ingin berbicara tentu terlebih dahulu kembali kepada nuraninya. Jika bermanfaat akan dibicarakan, jika tidak maka akan ditahannya. Berbeda orang yang bodoh, ia bisa berbicara apa saja yang ia mau, sebab akal yang timbul hanya dari mulutnya.

Dalam Nashaihul Ibad tertuliskan sebuah pesan dari Sayyidina Umar Ibn Khattab, yang mengingatkan bahwa seseorang yang banyak bicara itu akan berujuang pada kematian hatinya. Sebuah kondisi hati yang tidak lagi mengenal penyesalan saat kesalahan yang tela diperbuat. Dalam kitab tersebut disebutkan:

ومن كثر كلامه كثر سقطه ومن كثر سقطه قل حياته ومن قل حياته قل ورعه ومن قل ورعه مات قلبه

Siapa yang banyak bicara, maka akan banyak pula salahnya. Barangsiapa banyak salahnya, maka sedikit perasaan malunya. Siapa yang sedikit rasa malunya, maka sedikit pula wira’i nya. Barangsiapa sedikit wira’i, maka matilah hatinya

Membicarakan kejelekan orang lain, berdusta, mengadu domba, dan keburukan lisannya lainnya itu dimiliki orang tidak bisa menjaga hati dan lisannya. Kesempatan berbuat salah atau dusta tentu dimiliki oleh mereka yang banyak berbicara. Dari situlah rasa malu seseorang terkikis dan biasa mengerjakan kesalahan-kesalahan lainnya. Pudarnya rasa malu seseorang menunjukkan bahwa ia tidak wirai. Wirai disini adalah bersikap dan berlaku hati-hati terhadap sesuau yang makruh atau syubhat.

Jika seseorang bisa bersikap hati-hati, tentunya ia tidak akan terjerumus pada kesalahan-kesalahan terus menerus yang bisa membahayak diri sendiri dan orang lain. Dalam Al Luma’ fi Tarikh Al Tasawuf Al islami disebutkan bahwa orang yang wirai itu senantiasa terhindar dari sesuatu yang melalaikan hatinya dari zikir kepada Allah. Tentunya hati orang yang wirai keadaaannya baik, tidak mati. Kerena ia menjaga dirinya dari sesuatu yang tidak bermanfaat dan selalu berzikir kepada-Nya.

Berbeda dengan kondisi hati orang yang banyak berbicara. Ia keras dan berkakhir dengan kematian. Alhasil hatinya selalu mendahulukan kepentingan pribadi dan syahwatnya daripada urusan ketaatan dan kecintaan pada Tuhannya. Disinilah Rasulullah berpesan pada ummatnya agar selalu berkata baik atau diam saja jika tidak bisa menahan ucapan yang mengarah pada keburukan.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim)