Mengenal Gelar Habib dan Gelar Khusus dalam Tradisi Nusantara dan Islam
Pengenalan Gelar-Gelar Tradisional dalam Kepulauan Nusantara
Di Indonesia, tradisi penggunaan gelar telah menjadi bagian penting dari adat istiadat dan budaya sejak zaman dahulu. Setiap pemimpin, baik itu seorang raja, pangeran, atau pejabat tinggi memiliki gelar khusus yang mencerminkan kedudukan mereka dalam masyarakat. Gelar-gelar ini tidak hanya mengidentifikasi seseorang, tetapi juga mencerminkan sejarah dan warisan keluarga. Beberapa gelar bahkan diwariskan dari generasi ke generasi, seperti gelar yang dimiliki keturunan sultan atau pangeran.
Pentingnya Gelar dalam Kepulauan Nusantara
Gelar-gelar ini memiliki peran yang sangat penting dalam budaya masyarakat Nusantara. Mereka bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi juga simbol kehormatan dan penghargaan. Sebagian besar orang mungkin tidak akan mengenal seseorang kecuali mereka tahu gelarnya. Dalam sejarah Indonesia, gelar-gelar ini juga digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang memberikan gelar-gelar seperti "raden" kepada mereka yang setia mengabdi.
Gelar Khusus dalam Islam
Selain dalam budaya Nusantara, penggunaan gelar khusus juga terjadi dalam dunia Islam sebagai tanda penghargaan dan penghormatan terhadap keturunan Rasulullah Muhammad SAW. Di Mesir misalnya, keturunan Rasulullah dari cucu beliau, baik dari Hasan maupun Husain, diberi sebutan "Syarif" (jamaknya "Asyraf"). Sebagai perbedaan, di luar Hijaz, sebutan "Syarif" hanya diberikan kepada keturunan Rasulullah dari garis keturunan Hasan, sementara keturunan Husain disebut "Sayid" (jamaknya "Sadah").
Ketua Keluarga Sayid Hasan dan Sayid Husain
Bukti sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah Muhammad SAW tidak memiliki putra lelaki, tetapi ada dua orang cucu dari putrinya, Siti Fatimah, melalui pernikahannya dengan 'Ali bin Abi Thalib. Rasulullah sangat mencintai kedua cucunya ini dan sering menyebut mereka dengan panggilan "Anakku." Tentang Hasan, beliau pernah meramalkan bahwa Hasan akan mendamaikan dua kelompok yang sedang berselisih. Ramalan ini menjadi kenyataan ketika Hasan menyerahkan kekuasaannya kepada Mu'awiyah, dan tahun itu dikenal sebagai "Amul Jama'ah," tahun penyatuan kembali.
Sementara itu, tentang cucu beliau yang kedua, Husain, Rasulullah mengatakan bahwa ia akan menjadi "Sayid para pemuda Surga," menunjukkan kedudukan istimewa yang dimilikinya dalam Islam.
Kesimpulan
Gelar-gelar tradisional dalam budaya Nusantara dan gelar khusus dalam Islam memiliki makna yang dalam dan penting. Mereka mencerminkan sejarah, kedudukan, dan penghargaan dalam masyarakat. Selain itu, gelar-gelar ini juga mencerminkan nilai-nilai keluarga dan warisan budaya. Dengan memahami makna di balik gelar-gelar ini, kita dapat lebih menghargai kekayaan budaya dan sejarah di Indonesia dan dunia Islam.
Lihat Yusuf bin Ismail An-Nabhani, Asy-Syaraf Al-Muabbad Li Ali Muhammad, Cet.ll, 1973, Musthafa Al-Babi Al-Halabi, hal82-83. Lihat juga LW.C. Van Den Berg Hadhramaut Dan Koloni Arab Di Nusantara, Jilid III, 1989, INIS, Jakarta, hal 23. Rasulullah SAW bersabda:
ن انتي هذَا سَيدٌ، وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِتَقَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Anakku ini (cucu beliau Hasan) adalah Sayid (pemimpin: tuan), dan berkat dia, semoga Allah mendamaikan dua kelompok agung Muslim." (HR Bukhari) Rasulullah saw bersabda:
الحسن والحسين سَيْمَا شَبَابِ أَهْلِ الجنَّةِ
"Hasan dan Husain adalah Sayid (pemimpin tuan) para pemuda penghuni Surga." (HE Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad) Kedua Hadis ini Sahih. Oleh karena itu, maka menjadi tradisilah orang memberikan gelar "Sayid" kepada keturunan Hasan dan Husain itu di seluruh Dunia Islam, demi menghormati Hadis Nabi tersebut.
LW.C. Van Den Berg menyebutkan bahwa para Sayid tersebut mendapat gelar Habib (jamaknya: Habâib) dan anak perempuan mereka bergelar Habâbah. Gelar Habib ini di Hadhramaut mulai berlaku pada abad 11 hingga 14 H.7
Lihat, Prof., Dr., Hamka, Tuanku Rao, Bulan Bintang, Cet.l, 1974, Jakarta, hal171. 6LW.C. Van Den Berg, Hadhramaut Dan Koloni Arab Di Nusantara, Jilid III, 1989, INIS, Jakarta, hal35. 7 Muhammad bin Ahmad Asy-Syâthiri, Siratus Salaf Min Bani 'Alawi Al-Husainiyyin,
'Alamul Ma'rifah, Jeddah, t.t., t.c., hal.11.
Gabung dalam percakapan